nadiaindah289@gmail.com
Dewasa ini pemerintah Indonesia telah
berusaha dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan dengan dibuktikannya program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program Jaminan Kesehatan kini berkembang
cukup pesat dengan tujuan awal untuk tercapainya Universal
Health Coverage (UHC). UHC adalah suatu konsep penanganan
reformasi layanan kesehatan meliputi segenap masyarakat yang ditinjau dari
beberapa aspek yaitu aksesibilitas serta ekuitas pelayanan kesehatan, pelayanan
kesehatan yang berkualitas dan komprehensif
yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitatif serta
mengurangi keterbatasan finansial untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi
setiap penduduk (Piensriwatchara, 2017).
Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan
menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib dengan memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak
diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh pemerintah (Masyarakat, 2018). Jaminan Kesehatan Nasional bekerja dalam aspek sosial dan
kesehatan sehingga menjadi langkah pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan, namun kenyataannya pelaksanaan JKN diwarnai dengan berbagai masalah.
Salah satu yang menjadi masalah utama adalah permasalahan keuangan, dimana
terjadi defisit keuangan di BPJS Kesehatan. Dengan adanya permasalahan
finansial, kualitas layanan kesehatan akan dipertanyakan, karena kesulitan
finansial menjadi kendala dalam
memberikan suatu pelayanan terutama dalam hal kelayakan fasilitas. Fasilitas
layanan kesehatan harusnya segera memikirkan usaha yang tepat untuk
mempertahankan kondisi agar tidak terjadi kerugian. Usaha yang dilakukan
beberapa fasilitas kesehatan sekarang justru lebih mementingkan kemanfaatan
secara pribadi sehingga menimbulkan kecurangan. Kecurangan yang dilakukan oleh
Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) disebut dengan istilah Fraud.
Pengertian dari Fraud telah tercantum dalam Permenkes
No. 36 Tahun 2015 pasal 1 ayat 1, yang meyatakan bahwa “Kecurangan
(Fraud) dalam Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional yang biasa disebut
Kecurangan JKN adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh peserta,
petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, bahkan penyedia obat dan
alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan
kesehatan melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan” . Kasus Fraud kini menjadi sebuah perhatian
karena Proyeksi fraud JKN yang tercatat sebanyak 5
– 10 % atau
sebanyak Rp. 1,8
triliun – Rp.
3,6 triliun dari prediksi premi BPJS 2014 (Masyarakat, 2018). Adapun
jenis-jenis kecurangan Fraud yang biasa terjadi di layanan kesehatan oleh
Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) menurut pasal 5 Permenkes
Nomor 36 Tahun 2015 :
a.
Penulisan kode diagnosis
yang berlebihan (upcoding);
b.
Penjiplakan klaim dari
pasien lain (cloning);
c.
Klaim palsu (phantom
billing);
d.
Penggelembungan tagihan
obat dan alkes (inflated bills);
e.
Pemecahan episode
pelayanan (services unbundling or fragmentation);
f.
Rujukan semu (selfs-referals);
g.
Tagihan berulang (repeat
billing);
h.
Memperpanjang lama
perawatan (prolonged length of stay);
i.
Memanipulasi kelas perawatan
(type
of room charge);
j.
Membatalkan tindakan yang
wajib dilakukan (cancelled services);
k.
Melakukan tindakan yang tidak
perlu (no medical value);
l.
Penyimpangan terhadap
standar pelayanan (standard of care);
m.
Melakukan tindakan
pengobatan yang tidak perlu (unnecessary treatment);
n.
Menambah panjang waktu
penggunaan ventilator;
o.
Tidak melakukan visitasi
yang seharusnya (phantom visit);
p.
Tidak melakukan prosedur
yang seharusnya (phantom procedures);
q.
Admisi yang berulang (readmisi);
r.
rujukan pasien yang tidak
sesuai untuk memperoleh keuntungan;
s.
Meminta cost sharing yang
tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan
t.
Tindakan kecurangan JKN
yang lainnya selain huruf a sampai dengan huruf s.
Dari berbagai macam jenis
Fraud diatas, yang paling sering
terjadi dalam unit kerja rekam medis adalah tindakan upcoding. Bentuk dari temuan upcoding yang biasa terjadi di
Instansi Kesehatan adalah sebagai berikut :
a) Koding Klaim tidak sesuai aturan pada kondisi multiple atau kesalahan
koding pada kondisi multiple,
b)
Koding suatu diagnosis yang tidak
disertai pemeriksaan penunjang.
c)
Kesalahan koding prosedur karena
memilik kode ICD-9-CM bukan yang seharusnya
d)
Menukar diagnosis utama dengan
diagnosis sekunder maupun sebaliknya (Koding perlu diseleksi).
e) Kesalahan koding diagnosis yaitu memilih kode yang tidak sesuai dengan
kondisi seharusnya. (Abdullah, 2019)
Menurut Abdullah
(2019) faktor penyebab potensi upcoding yang
terjadi antara lain:
1.
Verifikasi internal rumah
sakit dan umpan balik (feedback) dari BPJS Kesehatan belum berfungsi dengan
baik sebagai pengawasan tindakan kecurangan (fraud),
2. Menurunnya
akurasi koding
Hal
ini diakibatkan oleh panjangnya proses input klaim karena tidak adanya implementasi
SIMRS,
3. Motivasi
Koder.
Koder melakukan
tindakan upcoding secara sengaja hanya untuk kepuasan pribadi.
Sebagai tenaga kesehatan yang berprofesi di Rekam Medis dapat
mendeteksi adanya kecurangan (Fraud) baik tindakan upcoding maupun beberapa
jenis Fraud yang dilakukan oleh PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan) karena dalam
unit rekam medis terdapat dokumen yang menjadi sebuah bukti nyata akan tindakan
medis yang telah dilakukan PPK kepada pasien. Rekam Medis juga menjadi salah
satu penaggung jawab atas proses klaim pasien BPJS. Oleh karena itu Rekam Medis
dapat melakukan analisis penyebab perbedaan diagnosis klinis dan diagnosis asuransi dan
melakukan analisis kesusaian dokumen rekam medis dengan bukti formulir
penunjang didalamnya. Tenaga rekam medis
yang mempunyai moral dan kemampuan yang berkualitas sangat dibutuhkan guna
menunjang deteksi potensi Fraud .
Rekam Medis dapat memanfaatkan fungsi aspek Legal, dimana dokumen rekam medis
menjadi bukti tertulis yang siap untuk dilakukan penyelidikan dalam kebutuhan
pengadilan.
Dengan dilakukannya deteksi dini, maka akan menjadi langkah
awal dalam membantu pihak pemerintah bahkan Rumah Sakit untuk menuntaskan
tindakan korupsi. Meminimalisir segala upaya kecurangan di era Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), akan sangat sulit tanpa adanya dukungan dari pemerintah dan
masyarakat oleh karena itu diperlukan suatu penegasan hukum yang telah
disosialisasikan kepada khalayak umum. Pembuatan aturan yang disertai dengan
penegasan harus dibuat secara terperinci berdasar pada lapangan dengan
melibatkan tenaga yang beresiko melakukan korupsi seperti Rekam Medis atau
tenaga PPK lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. S. (2019). Analisis Faktor
Penyebab Kejadian Fraud Yang Diakibatkan Oleh Upcoding Biaya Pelayanan
Kesehatan Kepada BPJS Kesehatan Cabang Ambon. Jurnal Kesehatan, 3(1).Masyarakat, J. K. (2018). Analisis Pelaksanaan Program Pencegahan
Kecurangan (Fraud) Jaminan Kesehatan Nasional Di Puskesmas Kota Semarang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(4), 95–104.
Menteri Kesehatan, & Menteri Kesehatan, R. (2015). Peraturan
menteri kesehatan republik indonesia nomor 36 tahun 2015 tentang pencegahan
kecurangan . 1–97. (www.hukor.depkes.go.id)
Piensriwatchara, E. (2017). 2017_Universal Health coverage Thailand
experience. July. (https://extranet.who.int/kobe_centre/sites/default/files/pdf/3_piensriwatchara.pdf)