Pamungkas
(2010: 18) menyatakan bahwa rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan oleh masyarakat, serta dituntut untuk memberikan pelayanan yang
memadai dan memuaskan guna meningkatkan derajat kesehatan bagi individu maupun
lapisan masyarakat secara keseluruhan. Senada dengan Pamungkas, Erfavira
(2012:5) menuliskan bahwa untuk meningkatkan kualitasnya maka rumah sakit harus
meningkatkan mutu pelayanan sesuai harapan pelanggan. Erfavira (2012:5)
menambahkan bahwa pelayanan yang bermutu tidak hanya pelayanan medisnya saja,
namun pelayanan penunjang pula seperti rekam medis yang menjadi indikator mutu
pelayanan suatu rumah sakit. Menguatkan pendapat tersebut, Pamungkas (2010: 18)
menyatakan bahwa “Hal ini berkaitan
dengan isi rekam medis yang mencerminkan segala informasi menyangkut pasien
sebagai dasar dalam menentukan tindakan lebih lanjut dalam upaya pelayanan
maupun tindakan medis lain”.
“Kelengkapan
penulisan pada rekam medis merupakan suatu hal yang penting, karena akan
memberikan informasi untuk pengobatan selanjutnya ketika pasien datang kembali
ke sarana pelayanan kesehatan tersebut.” (Marwati, 2010:18). Marwati (2010:19)
juga menegaskan bahwa ketidaklengkapan pengisian rekam medis membuat
terhambatnya pemenuhan hak pasien terhadap isi rekam medisnya, mempersulit
proses klasifikasi dan kodefikasi penyakit, terhambatnya proses pelaporan rumah
sakit, terhambatnya pembuatan tanda bukti untuk kasus kepolisisan dan hukum,
serta terhambatnya proses pengajuan klaim asuransi. Hasil penelitan menunjukan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan rekam medis tidak lengkap yaitu
pengetahuan dan motivasi petugas kurang, kurang efektifnya pengawasan dan
monitoring, serta tidak ada pembinaan berkala (Antara, 2013:119).
“Rekam
medis menjadi cerminan setiap langkah yang diambil dalam rangka hubungan pasien
dengan dokter sebagai hubungan transaksi terapeutik, di mana transaksi ini
melindungi pasien sesuai dokumen internasional yang terdiri dari “the right to information” and “the right to self determination”” (Purwandoko
1996: 51) . Ada tiga alasan mengapa dokumen rekam medis perlu ditandatangani
oleh dokter: 1. Pasien harus dilindungi; 2. Apabila terjadi kasus yang mencapai
pengadilan, dan 3. Untuk mencegah kegagalan rumah sakit dalam mencapai
akreditasi (Purwandoko, 1996: 53). “Dengan tiga alasan tersebut maka rekam
medis dapat berfungsi sebagai alat bukti undang-undang yang bernilai
keterangan/saksi ahli” (Purwandoko, 1996: 53).
Pamungkas
(2010: 18) menuliskan bahwa kegunaan rekam medis dapat ditinjau dari beberapa
aspek yaitu aspek administrasi, aspek medis, aspek hukum, aspek keuangan, aspek
penelitian, aspek penelitian, dan aspek dokumentasi. “Dari segi hukum , rekam
medis dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, etika
kedokteran, dan disiplin kedokteran.”(Sumilat 2009: 32).
Rumah
sakit bertanggung jawab atas keberadaan rekam medis (Prasada 2015: 3). “Menurut
Undang-Undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 46, Rumah Sakit
bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit” (Prasada 2015:
3). Oleh karena itu maka rekam medis perlu dirawat dan dilindungi.Pratama
(2013: 157) menyatakan bahwa pelayanan perawatan medis tidak dapat dijalankan
dengan efektif bilamana DRM atau Dokumen Rekam Medis rusak atau hilang karena
tidak adana kesinambungan informasi medis. Pengamanan DRM dari segi fisik yaitu
menggunakan kertas HVS 80 gram dan map plastik, dibersihkan agar tidak berdebu.
Dari segi kimiawi yaitu menggunakan tinta yang tidak mudah luntur serta
pencegahan pelayan kesehatan untuk membawa makanan atau minuman saat di ruangan
(Pratama, 2013: 159).
“Rumah
sakit sebagai Manajemen Informasi Kesehatan memiliki tanggung jawab profesional
antara lain memastikan bahwa kerahasiaan pasien terlindungi” (Mariani 2015:
318). Berhubungan dengan hal tersebut, Retnowati (2013: 142) menyatakan bahwa
secara umum telah disadari bahwa informasi yang terdapat dalam rekam medis
bersifat rahasia karena menjelaskan hubungan yang khas antara pasien dan dokter
yang wajib dilindungi dari pembocoran sesuai dengan kode etik kedokteran dan UU
yang berlaku. “Sesungguhnya rekam medis disimpan dan dijaga bukan semata-mata
hanya untuk keperluan medis dan administrasi, namun isinya sangat diperlukan
pula oleh individu dan organisasi yang secara hukum harus mengetahuinya”
(Retnowati, 2013: 144). Penyuguhan informasi yang diambil dari rekam medis
sebagai bukti suatu perkara di pengadilan, atau di depan suatu badan resmi
lainnya merupakan suatu proses yang wajar. (Retnowati, 2013: 144). Namun tak
hanya rekam medis ataupun pasien yang terlindungi, Mariani (2015: 318) juga
mengatakan bahwa rumah sakit juga mendapat hak berupa perlindungan hukum.
Antara lain kewenangan untuk menolak mengungkapkan seluruh informasi umum yang
berkaitan terhadap pasien ke khalayak.
Retnowati
(2013:147) juga menjelaskan bahwa perlindungan terhadap rumah sakit, dokter dan
pasien harus ditelusuri dalam peraturan perundang-undangan sistem pemeliharaan
dan pelayanan kesehatan di mana rekam medis menempati posisi sentral. Adapun
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UU No.29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit, dan Permenkes No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam
Medis (Retnowati 2013: 147).
“Beberapa
pasal yang mengatur pelanggaran terhadap rekam medis di antaranya pasal 13
KODEKI menyatakan setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu
meninggal dunia” (Nasution 2013: 22). Berdasarkan pasal tersebut, Nasution (2013:
22) menuliskan bahwa sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran kode etik rekam
medis tergantung pada berat atau ringannya pelanggaran kode etik tersebut, di
antaranya teguran lisan atau hukum, penurunan pangkat atau jabatan, penundaan
kenaikan pangkat, dan pencabutan izin. Begitupula diatur dalam pasal 322 Kitab
Undang-Undang hukum Pidana menyatakan barangsiapa dengan sengaja membuka
rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan, baik sekarang maupun dahulu
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan (Nasution 2013: 22).
Daftar Rujukan
Antara,
G.B.L (2013). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Keterlambata
Pengembalian Berkas Rekam Medis Dari Instalasi Rawat Inap Ke Instalasi Rekam
Medis Di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Jurnal
Fakultas Kesehatan Masyarakat Udayana, 1-121
Erfavira,
A. (2012). Perbedaan Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Antara Instalasi Rawat
Jalan Dan Instalasi Rawat Darurat Di Poli Bedah RSUP Dr. Kardia Semarang. Jurnal Media Medika Muda, 1-15
Firdaus,
S. U. (2010). Rekam Medik Dalam Sorotan Hukum dan Etika. Surakarta: UNS Press
Mariani,
M. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Rekam Medis Pasien Di Rumah Sakit. Jurnal Magister Hukum Udayana Vol. 4,
1-390
Marwati,
T. & Pamungkas, T.W. (2010). Analisis Ketidaklengkapan Pengisian Berkas
Rekam Medis Di Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dalan, Vol.4 No.1,
1-75
Nasution,
A. K. (2013). Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kerahasiaan Rekam Medis Pasien
Ditinjau Dari Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, 1-28
Prasada,
M.Y. (2015). Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerahasiaan Rekam Medis. Jurnal Hukum Bisnis Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 1-6
Pratama.
C. (2013). Tinjauan Aspek Keamanan Dokumen Rekam Medis Di Ruang Filing
Puskesmas Lebdosari Semarang. Jurnal
Visikes Vol. 2, 1-162
Purwandoko,
P.H. (1996). Aspek Hukum Rekam Medis, 1-58
Retnowati,
A. (2013). Politik Hukum Dalam Menata Rekam Medis Sebagai Sarana Perlindungan
Hukum Terhadap Rumah Sakit, Dokter, dan Pasien. Jurnal Yustisia, 86, 1-151
Sumilat,
A.T. (2014). Kedudukan Rekam Medis Dalam Pembuktian Perkara Malpraktek Di
Bidang Kedokteran. Jurnal Lex Crimen
Vol.3, 1-62
Wahyu,
T. (2015). Pengamanan Data Rekam Medis Pasien Menggunakan Kriptografi. Jurnal STT Garat, 1-5