Ni Wayan Alik Suryani
Analisis kesiapan
merupakan langkah awal dalam road map implementasi
rekam medis elektronik (RME). Kesiapan adalah faktor utama yang paling penting
bagi antusiasme stakeholder untuk
mendapatkan yang terbaik dari pemanfaatan rekam medis elektronik (Lorenzi et
al., 2009). Banyak rumah sakit di Indonesia sudah memiliki aplikasi
pengembangan rekam medis elektronik, namun belum dapat dimanfaatkan secara
maksimal. Seperti pada RSUD Kota Yogyakarta, yang sudah memiliki SIMRS namun
belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Permasalahan yang terjadi adalah
belum adanya rencana srategi terkait pengembangannya. Tanpa adanya perencanaan
yang jelas, proses pengembangan sistem informasi di RSUD Kota Yogyakarta
terkesan tambal sulam. Pengembangan rekam medis elektronik diperlukan adanya
analisis terkait kesiapan organisasi rumah sakit terlebih dahulu (Pratama,
2016).
Selain itu, terdapat
juga permasalahan seperti pada Klinik Rawat Inap PKU Muhammadiyah Pakem,
melalui direkturnya menyebutkan bahwa, Klinik Rawat Inap PKU Muhammadiyah Pakem
akan menerapkan rekam medis elektronik pada tahun 2016. Namun, analisis
kesiapan mengenai implementasi rekam medis elektronik belum pernah dilakukan.
Padahal, hal ini sangat penting untuk menilai sejauh mana kesiapan di Klinik
Rawat Inap PKU Muhammadiyah Pakem dalam penerapan rekam medis elektronik
(Hidayat dan Sari, 2017).
Tantangan
selanjutnya dalam implementasi RME adalah dokter dan petugas belum terbiasa
melakukan pencatatan secara elektronik sehingga waktu yang dibutuhkan untuk
melayani pasien dengan sistem pencatatan berbasis elektronik lebih lama
dibandingkan pencatatan berbasis kertas (Erawantini et al., 2012). Seperti
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada 5 pelayanan kesehatan dasar di
Amerika yang diteliti oleh Pizziferri et al. (2005) bahwa dengan mengadopsi
catatan kesehatan elektronik, dokter membutuhkan waktu lebih lama untuk
memberikan pelayanan kesehatan pada pasien dibandingkan bila menggunakan rekam
medis kertas. Implementasi rekam medis elektronik merupakan proses yang rumit
dan butuh waktu bagi pengguna untuk akrab dengan sistem (Xiaoa et al., 2012).
Padahal, rekam medis
elektronik menyediakan manfaat yang luar biasa apabila dipersiapkan dengan
baik. Penelitian sebelumnya oleh Silow-Carroll et al. (2012) menegaskan bahwa
adopsi catatan rekam medis elektronik secara terintegrasi akan menyediakan
layanan yang terkoordinasi serta berlangsung secara kontinu dan yang terpenting
adalah meningkatkan kualitas pelayanan dengan penggunaan checklist, alert, dan
alat-alat prediktif.
Hasil penelitian
sebelumnya oleh Erawantini et al. (2012) menunjukkan bahwa dari segi
kelengkapan, pencatatan data medis dan data sosial pada rekam medis elektronik
lebih baik dibandingkan rekam medis kertas. Dengan menggunakan rekam medis
elektronik, memungkinkan pengisian lebih lengkap terutama data sosial dan lebih
sistematis. Dengan menggunakan rekam medis
elektronik juga, pemeriksaan pada pasien menjadi lebih akurat atau sesuai
dengan riwayat kesehatan sebelumnya karena data pasien tercatat dengan baik
serta tidak mudah hilang. Rekam medis elektronik juga menghindari tertukarnya
data pasien. Selain itu, tentunya rekam medis elektronik sangat mudah
digunakan, terutama kemudahan mencari data dan riwayat pasien sehingga
menghemat waktu, lebih efektif, data pasien tersimpan dengan baik dan tidak
mudah hilang. Manfaat lainnya yang diperoleh adalah terintegrasinya data dalam
satu repository yang memungkinkan untuk dilakukan analisis secara mudah dan
cepat dalam pengambilan keputusan (Amatayakul, 2004).
Adapun instrumen
yang dapat digunakan dalam menganalisis kesiapan institusi dalam
menyelenggarakan rekam medis elektronik adalah DOQ-IT. DOQ-
IT merupakan singkatan dari Doctor’s Office Quality – Information Technology. Ada empat area
utama untuk menilai kesiapan dalam implementasi rekam medis elektronik yaitu
budaya organisasi, manajemen dan kepemimpinan, sumber daya manusia, dan
infrastruktur (DOQ-IT, 2009).
a.
Budaya Organisasi
Kesiapan budaya
mencakup penerimaan tenaga kesehatan atas teknologi informasi. Diperlukan
peningkatan pengetahuan dan kesadaran pengguna akan pentingnya rekam medis.
Tenaga kesehatan harus memiliki pemahaman dan komitmen untuk pelaksanaan sesuai
yang direncanakan. Perlu dilakukan motivasi kepada praktisi kesehatan untuk
berkomitmen melaksanakan proses sesuai dengan perubahan alur kerja (Ghazisaeidi
et al., 2014). Alur kerja yang baik yaitu berupa sistem kerja yang jelas,
didukung sesuai kebutuhan pengguna. Carroll et all (2012) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa salah satu kesuksesan dalam implementasi RME adalah dengan
adanya keikutsertaan staf klinis maupun administrasi dalam proses desain dan
perencanaan implementasi. Untuk menuju pada perubahan tersebut, dokter maupun
staf medis perawat menyadari bahwa sebagai pengguna memiliki peran yang penting
dalam memberikan masukan.
b.
Manajemen dan Kepemimpinan
Kesuksesan dalam
proses implementasi RME dipengaruhi oleh dukungan kepemimpinan yang kuat,
keikutsertaan dari staf klinis dalam desain dan impelmentasi, proses pelatihan
pada staf, serta proses perencanaan yang sesuai jadwal serta penyediaan
anggaran yang memadai (Carroll et all, 2012). Peran dukungan kepemimpinan dan
tata kelolanya berpengaruh pada pengembangan RME karena pemimpin merupakan
jajaran tertinggi dalam pengambilan keputusan.
Critical element
pertama untuk keberhasilan implementasi RME adalah terkait team leadership. EMR Leadership team
merupakan komite yang mengkomando proses-proses dalam pengembangan. Di dalam team tersebut terdiri dari berbagai
pihak interdisipliner yang bersedia meluangkan waktu untuk ikut serta dalam
proses pengembangan sistem (Healtland, 2009). Diperlukan pembentukan tim
eksekutif dalam perencanaa sistem yang harus benar-benar terlibat dalam semua
tahap implementasi dengan menyediakan pendapat dari berbagai pengguna, inovasi,
waktu dan komitmen. Selain itu juga dibutuhkan manajer yang kuat dan pemimpin
senior manajer klinis dan tenaga klinis (Ghazisaeldi et al, 2013).
c.
Sumber Daya Manusia
Pengembangan RME
akan sangat tergantung pada sumber daya manusia (SDM) sebagai pengguna RME
maupun sebagai penyusun kebijakan. Dibutuhkan pelatihan teknis bagi para tenaga
medis dan para medis untuk kelancaran implementasi RME, karena kurangnya
pelatihan dan dukungan teknis dapat menjadi penghalang untuk mengadopsi RME (Boonstra
et al., 2010). Persiapan – persiapan, sosialisasi, dan pelatihan-pelatihan
dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas staf menuju penerapan RME. Peningkatan
kapasitas staf yang dilakukan dengan pelatihan dapat menambah pengetahuan,
menambah keterampilan, dan merubah sikap. Pelatihan merupakan sarana
mengembangkan kemampuan seseorang dalam hidup dan pekerjaannnya (Patak et al.,
2014). Pelatihan juga merupakan sarana untuk meningkatkan dan mengembangkan
sikap, skil, dan kemampuan pegawai. Dalam pelatihan dapat diketahui kekurangan
individu untuk kemudian diperbaiki (Hariandja, 2007).
d.
Infrastruktur
Infrastruktur yang
dibangun untuk implementasi RME harus memperhatikan persyaratan untuk privasi
dan keamanan, juga terkait asuransi kesehatan dan akuntabilitas. Beberapa yang
bisa dirancang untuk keamanan diantaranya membentuk tim keamanan,
memperhitungkan resiko, membuat kebijakan dan SOP, menerapkan kontrol, membuat
pelatihan-pelatihan pendukung, dan monitoring proses (Hartley dan Jones, 2012).
Komponen fisik yang harus disiapkan
diantaranya server, laptop (atau
netbook) dan personal computer (pc),
dial-up modems, wireless hardware, printer, scanner, dan mesin fax, kabel
modem, digital subscribe line, dan
kamera digital (sesuai kebutuhan). Layar komputer juga perlu diperhitungkan
besarnya, karena bila terlalu kecil akan tidak mendukung aplikasi yang
dijalankan. Perhatikan juga perusahaan pembuat hardwarenya, yang paling banyak
digunakan di fasilitas kesehatan karena ini juga akan berpengaruh pada anggaran
(Hartley dan Jones, 2012). Adopsi EHR secara menyeluruh memerlukan biaya yang
banyak dan memerlukan proses yang panjang (Carroll et all, 2012). Untuk itu
diperlukan adanya kesiapan dari sisi infrastruktur TI maupun anggarannya.
Selain itu, perlu
menyiapkan komponen teknis diantaranya adalah software, jaringan, interface,
back up, dan cadangan power supply.
Software yang umumnya digunakan yaitu
software anti virus, enkripsi,
manajemen dokumen, dan microsoft office
atau sejenisnya. Mempersiapkan interface yang
easy and friendly user. Tim teknis pendukung juga harus dipersiapkan untuk
mengantisipasi apabila terjadi kendala di lapangan (Hartley dan Jones, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Amatayakul. 2004. A Practical Guide
for Professional and Organization. Chicago: America Health Management
Association.
Budi, Savitri C. 2011. Manajemen Unit
Kerja Rekam Medis. Yogyakarta: Quantum Sinergis Media.
Boonstra A, Broekhuis M. 2010.
Barriers to the acceptance of electronic medical records by physicians from
systematic review to taxonomy and interventions. BMC Health Serv Res.
2010;10:231. doi:10.1186/14726963-10-231.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman
Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia Revisi II,
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik.
Doctor’s Office Quality - Information
Technology (DOQ-IT). EHR Assessment and Readiness Starter Assessment. DOQ-IT.
Feby Erawantini, Eko Nugroho, Guardian
Yoki Sanjaya, dan Sunandar Hariyanto. 2013. Rekam Medis Elektronik: Telaah
Manfaat Dalam Konteks Pelayanan Kesehatan Dasar. Politeknik Negeri Jember,
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Simkes Prodi S2 IKM Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Ghazisaeidi M, Ahmadi M, Sadoughi F. 2014.
An Assessment of Readiness for
PreImplementation of Electronic Health Record in Iran : a
Practical Approach to Implementation in general and Teaching Hospitals. Acta
Med Iran.
Hariandja MTE. 2007. Manajemen Sumber
Daya Manusia, Pengadaan, Pengembangan, Pengkompensasian Dan Peningkatan
Produktivitas Pegawai. Jakarta: PT. Grasindo.
Hartley CP, Jones EDI. 2012. EHR
Implementation A Step by Step Guide for the Medical Practice. 2nd ed. United
States: American Medical Association.
Hidayat, Anas Rahmat. Analisis
Kesiapan (Readiness Assessment)
Penerapan Electronic Medical Record di Klinik Rawat Inap PKU Muhammadiyah
Pakem. Yogyakarta: Permata Indonesia.
Jogiyanto, HM. 2005. Sistem Informasi
Strategik: Untuk Keunggulan Kompetitif: Memenangkan Persaingan dengan Sistem
Teknologi Informasi, Edisi 2. Yogyakarta: Andi.
Lorenzi NM,
Kouroubali A, Detmer DE, Bloomrosen M. 2009. How to Successfully Select and
Implement Electronic Health Records (EHR) in
Small
Ambulatory Practice Settings. BMC Medical
Informatics and
Decision Making.
Diakses dari
https://bmcmedinformdecismak.biomedcentral.com/articles/10.1186/14726947-9-15 pada
10 November 2019.
Patak A., Said H, Yaumi M, Ernawati A,
Nur D. 2014. Integrating Knowledge Science and Religion. In: The 1st Academic
Symposium on Integrating Knowledge (The 1st ASIK). Johor Malaysia: Ibnu Sina
Institute for Knowledge Science and Religion.
Permenkes Nomor 269/MenKes/Per/III/2008.
Rekam Medis.
Pizziferri L, Kittler AF, Volk L a,
Honour MM, Gupta S, Wang S, et al. 2005. Primary care physician time
utilization before and after implementation of an electronic health record: a
time-motion study. Journal of biomedical
informatics. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15896691 pada 10 November 2019.
Pratama, Muhammad Hamdani. 2016. Analisis
Strategi Pengembangan Rekam
Medis Elektronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota
Yogyakarta. [Skripsi]. Surakarta: FKIK UMS.
Silow-Carroll S, Edwards JN, Rodin D.
2012. Using electronic health records to improve quality and efficiency: the
experiences of leading hospitals. Issue
brief (Commonwealth Fund) Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22826903 pada 10 November 2019.
Xiaoa N, Danzoc,
Andrew HRR. 2012. Meaningful Use of ambulatory EMR: Does it improve the quality
and efficiency of health care? Elsevier.
Diakses dari
http://ac.elscdn.com/S221188371200010X/1-s2.0S221188371200010Xmain.pdf?_tid=87765e3e-8cbd-11e2-
9fae00000aacb361&acdnat=1363275822_432832a4fbc2d67b6628ab21b0
b41ee 7 pada 10 November 2019.
0 komentar:
Posting Komentar